Search This Blog

Friday, May 28, 2021

Kujang Pasundan

Istilah "kujang" berasal dari kata kudihyang. Kudi merupakan kata dalam bahasa Sunda Kuno yang berarti senjata dengan kekuatan gaib dan sakti.Kata Hyang juga berasal dari bahasa Sunda Kuno yang berarti dewa/dewi.Sumber lain menyatakan bahwa Kujang berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia.
Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Di samping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Provinsi Jawa Barat.
Pada masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah di antaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.
Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.
Secara umum, kujang memiliki sisi tajaman dan bagian-bagian lain seperti: papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak).Selain dari bentuknya yang unik, bahan baku kujang cenderung tipis, bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam.
Bentuk dan Fungsi Kujang
Aneka rupa kujang dan badi dalam laporan Hurgronje tahun 1904
Kujang memiliki beragam fungsi dan bentuk. Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat antara lain: Kujang Pusaka (lambang keagungan dan perlindungan), Kujang Pangarak (untuk berperang), Kujang Pakarang (sebagai alat upacara)dan Kujang Pamangkas (sebagai alat berladang). Sedangkan berdasarkan bentuk bilah ada yang disebut Kujang Jago (menyerupai bentuk ayam jantan), Kujang Ciung (menyerupai burung ciung), Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul/bango), Kujang Badak (menyerupai badak), Kujang Naga (menyerupai binatang mitologi naga) dan Kujang Bangkong (menyerupai katak). Di samping itu terdapat pula tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan.
Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai Pusaka , senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata.
Menurut Sanghyang siksakanda ng karesian pupuh XVII, kujang adalah senjata kaum petani dan memiliki akar pada budaya pertanian masyarakat Sunda. 
Sejarah Bentuk Kujang
Nilai Kujang sebagai sebuah jimat atau azimat, pertama kali muncul dalam sejarah Kerajaan Padjadjaran Makukuhan dan Panjalu. Tepatnya pada masa pemerintahan Prabu Kudo Lalean (disebut juga Prabu Kuda Lelean di tanah Sunda dan Kerajaan Panjalu Ciamis). Prabu Kuda Lelean / Kudo lalean juga dikenal sebagai Hyang Bunisora dan Batara Guru di Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang (Sukabumi).
Sejak itu, Kujang secara berangsur-angsur dipergunakan para raja dan bangsawan Kerajaan itu sebagai lambang kewibawaan dan kesaktian. Suatu ketika, Prabu Kudo Lalean tengah melakukan tapa brata di suatu tempat. Tiba-tiba sang prabu mendapat ilham untuk mendesain ulang bentuk Kujang, yang selama ini dipergunakan sebagai alat pertanian.

Anehnya, desain terbaru yang ada di benak sang Prabu, bentuknya mirip dengan Pulau “Djawa Dwipa”, yang dikenal sebagai Pulau Jawa pada masa kini. Nah, setelah mendapat ilham itu, segera prabu Kudo Lalean menugaskan Mpu Windu Supo, seorang pandai besi dari keluarga kerajaan. Ia diminta membuat mata pisau seperti yang ada di dalam pikiran sang Prabu. Mulanya, Mpu Windu Supo gusar soal bentuk senjata yang mesti dibuatnya. Maka sebelum melakukan pekerjaan, Mpu Windu Supo melakukan meditasi, meneropong alam pikiran sang prabu. Akhirnya didapatlah sebuah bayangan tetang purwa rupa (prototype) senjata seperti yang ada dalam pikiran Kudo Lalean.

Setelah meditasinya usai, Mpu Windu Supo memulai pekerjaannya. Dengan sentuhan-sentuhan magis yang diperkaya nilai-nilai filosofi spiritual, maka jadilah sebuah senjata yang memiliki kekuatan tinggi. Inilah sebuah Kujang yang bentuknya unik, dan menjadi sebuah objek bertenaga gaib. Senjata ini memiliki 2 buah karakteristik yang mencolok. Bentuknya menyerupai Pulau Jawa dan terdapat 3 lubang di suatu tempat pada mata pisaunya. Inilah sebuah senjata yang pada generasi mendatang selalu berasosiasi dengan Kerajaan Padjadjaran Makukuhan.

Bentuk Pulau Jawa sendiri merupakan filosofi dari cita-cita sang Prabu, untuk menyatukan kerajaan-kerajaan kecil tanah Jawa menjadi satu kerajaan yang dikepalai Raja Padjadjaran Makukuhan. Sementara tiga lubang pada pisaunya melambangkan Trimurti, atau tiga aspek Ketuhanan dari agama Hindu, yang juga ditaati oleh Kudo Lalea. Tiga aspek Ketuhanan menunjuk kepada Brahma, Vishnu, dan Shiva. Trinitas Hindu (Trimurti) juga diwakili 3 kerajaan utama pada masa itu. Kerajaan-kerajaan itu antara lain Pengging Wiraradya, yang berlokasi di bagian Timur Jawa; Kerajaan Kambang Putih, yang berlokasi di bagian Utara Jawa, dan Kerajaan Padjadjaran Makukuhan, berlokasi di Barat.
Bentuk Kujang berkembang lebih jauh pada generasi mendatang. Model-model yang berbeda bermunculan. Ketika pengaruh Islam tumbuh di masyarakat, Kujang telah mengalami reka bentuk menyerupai huruf Arab “Syin”. Ini merupakan upaya dari wilayah Pasundan, yakni Prabu Kian Santang(Dikenal juga dengan Nama Prabu Borosngora,dan Bunisora Suradipati dari kerajaan panjalu), yang berkeinginan meng-Islamkan rakyat Pasundan. Akhirnya filosofi Kujang yang bernuansa Hindu dan agama dari kultur yang lampau, direka ulang sesuai dengan filosofi ajaran Islam. Syin sendiri adalah huruf pertama dalam sajak (kalimat) syahadat di mana setiap manusia bersaksi akan Tuhan yang Esa dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Dengan mengucap kalimat syahadat dan niat di dalam hati inilah, maka setiap manusia secara otomatis masuk Islam.

Manifestasi nilai Islam dalam senjata Kujang adalah memperluas area mata pisau yang menyesuaikan diri dengan bentuk dari huruf Syin. Kujang model terbaru seharusnya dapat mengingatkan si pemiliknya dengan kesetiannya kepada Islam dan ajarannya. Lima lubang pada Kujang telah menggantikan makna Trimurti. Kelima lubang ini melambangkan 5 tiang dalam Islam (rukun Islam). Sejak itulah model Kujang menggambarkan paduan dua gaya yang didesain Prabu Kudo Lalean dan Prabu Kian Santang. Namun wibawa Kujang sebagai senjata pusaka yang penuh “kekuatan lain” dan bisa memberi kekuatan tertentu bagi pemiliknya, tetap melekat.

Dalam perkembangannya, senjata Kujang tak lagi dipakai para raja dan kaum bangsawan. Masyarakat awam pun kerap menggunakan Kujang sama seperti para Raja dan bangsawan. Di dalam masyarakat Sunda, Kujang kerap terlihat dipajang sebagai mendekorasi rumah. Konon ada semacam keyakinan yang berkait dengan keberuntungan, perlindungan, kehormatan, kewibawaan dan lainnya. Namun, ada beberapa takhayul yang dianggap sebagai pantangan yang tak boleh dilakukan. Yakni memajang Kujang secara berpasangan di dinding dengan mata pisau yang tajam sebelah dalam saling berhadapan. Ini merupakan tabu atau larangan. Selain itu, tidak boleh seorangpun mengambil fotonya sedang berdiri di antara 2 Kujang dalam posisi tersebut. Kabarnya, ini akan menyebabkan kematian terhadap orang tersebut dalam waktu 1 tahun, tidak lebih tetapi bisa kurang.

1."KUJANG". Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya. 2015-12-17. Diakses tanggal 2020-07-11. 2.Widya Dharma Agama Hindu SMP kls 9. Ganeca Exact. hlm. 94. ISBN 978-979-744-740-3.
3.Kerjasama Pusat Kajian Lintas Budaya 2011, hlm. 62
4."Kujang, Senjata Tradisional Indonesia". House Sangkuriang Bandung (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-07-11.
5.Intan Mardiana N, Endang Sriwigati, Yuni Astuti Ibrahim & Andini Perdana (2009). Agus Aris Munandar, ed. Koleksi Pilihan 25 Museum di Indonesia. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 5156648.
6.Arthur S. Nalan (2000). Sanghyang Raja Uyeg: dari sakral ke profan. Humaniora Utama Press. ISBN 97-992-3137-X.
7.Brahmanto Anindito (2015). Tiga Sandera Terakhir. Noura Books. ISBN 60-209-8947-X.
8.Saleh Danasasmita & Anis Djatisunda (1986). Kehidupan masyarakat Kanekes. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. OCLC 6801889.
9.Edi Setiadi Putra (2011). "Interpretasi Visual terhadap Bentuk dan Fungsi Kujang Huma Pamangkas dengan Uji ANOVA (Analysis Of Variance) dan VAS (Visual Analog Scale)". Institut Teknologi Nasional. Diakses tanggal 21 February 2017.
10.Pemerintah Negara Pasundan 1949, hlm. 139
11.de Vries, Hubert. "JAWA BARAT". hubert-herald.nl. Diakses tanggal 2020-07-11

Monday, May 24, 2021

KUJANG

Pusaka kujang pada awal penciptaannya berfungsi sebagi simbol atau lambang ajaran Sunda Besar dan kekuasaan wilayah atau teritorial Ketika pusaka dan pakarang kujang diciptakan, belum ada provinsi Jawa Barat dan etnis Sunda.
Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi. Melalui penelusuran sejarah berkenaan dengan para atau pande atau Mpu pembuat Kujang dan hubungannya dengan jenis pusaka yang lain. 
 
Kujang adalah sejenis parang khas milik masyarakat suku Sunda pada masa lampau.Konon merupakan senjata pusaka di Kerajaan Galuh Pajajaran, terutama Prabu Siliwangi.Kujang juga terkenal karena bentuknya yang menyeramkan, namun terlihat mewah. Kujang bagi orang Sunda merupakan piandel atau berfungsi sebagai penguatan karakter atau jati diri, karena kujang merupakan simbol dari kosmologi Sunda (mikrokosmos/jagat leutik dalam bahasa Sunda) dan Kosmogoni Sunda (makrokosmos/jagat gede dalam bahasa Sunda). Pada dasarnya apabila di lihat dari sistem pemerintahan nagara purba, kujang tidak dapat dipisahkan dalam kerangka sistem Nagara Purba dan proses penciptaanya . Kujang berasal dari kata Ku Jawa Hyang atau Ku Dyah Hyang dan kemudian menjadi Kudi Hyang, yang menyiratkan Jawa Dwipa berperan sebagai Ibu Pertiwi dan pulau- pulau lainnya di luar P. Jawa sebagai Nusa Persada. Secara totalitas wilayah teritorial nagara purba menyiratkan bahwa Nusa Persada ada di pangkuan Ibu Pertiwi atau disebut dengan istilah ”Papat kalima pancer”, yaitu: Jawa Dwipa, Swarna Dwipa , Simhala Dwipa, Waruna Dwipa dan Parahyangan sebagai Pancer atau Kamaharaja’an.
 
Nusa Persada dalam sistematika nagara purba berkarakteristik Kadatuan (Kadaton) atau Ka-Resi-an, dan para pemimpinnya bergelar Datuk atau Resi, sementara Jawa Dwipa menjadi Pancer atau Puser, disebut juga Ka-Ratu-an (Karaton) dan para pemimpinnya bergelar Ratu. Para Resi atau Datuk mempunyai kekuatan hukum dan keilmuan dalam nagara. Resi mempunyai tugas sebagai penasehat Ratu dalam menjalankan roda pemerintahan nagara. Sementara Ratu berfungsi sebagai pelaksana program atau instruksi dari para Datuk atau Resi. Ratu mempunyai kekuasaan teritorial atau wilayah. Pada awalnya Pusaka kujang menjadi lambang kekuasaan para Ratu, dan keris menjadi pusaka atau gagaman para resi atau Ku Resi. Seiring dengan perkembangan sistem ketatanagaraan purba dan semangat perkembangan jaman ( Upgrading Spiral ), pusaka Kudi dan Kujang mengalami banyak perkembangan, baik dari segi bahan baku atau material dasar, teknis pengolahan atau garap, variasi bentuk dapuran, ukuran dan fungsinya.
Pusaka kudi dan kujang secara keseluruhan merefleksikan ajaran Sunda Besar sebagai wujud dari nagara, ajaran, ratu dan karajaan. Petuah Sunda Besar, bahwa dalam kehidupan ”Tekad, Ucap, Lampah kudu saluyu”, hal ini tercermin dalam bahan dasar kujang, yang terdiri dari : Waja, Wesi dan Pamor. Waja melambangkan kekerasan sebuah tekad, Wesi melambangkan bener dan jujur dalam laku-lampah, dan Pamor sebagai keindahan ucap dan santun dalam bertutur kata. Kesederhanaan bentuk kujang merupakan hasil integrasi dari nilai-nilai luhur, tafsir dan makna di dalam : Agama Budaya, Negara, Sejarah, Filsafat dan Hakekat (Simplification is the Crown of Beauty). Refleksi dari karakteristik budaya Sunda Besar, yang ”Depe-depe Handap asor”, ” Teu sudi ngajajah , Teu Sudi Dijajah ”, “Teu Sirik Pidik Jail Kaniayaya“, tercermin dalam perjalanan nagara purba dimulai dari Salaka Nagara-Taruma Nagara- Cupunagara – Banjar Nagara - Pajajaran Nagara.
Hal ini bisa dilihat dari komponen rincikan atau elemen struktur pusaka dan senjata yang lain seperti keris.Banyak terdapat yang kesamaan , yaitu bahan dasar logam dan elemen rincikannya,seperti: pesi / peksi / paksi, pejetan dan lain-lain. Begitu pula dengan nama dapuran keris, seperti Bango Dolog, Kuntul Ngantuk, Merak dan lain-lain.Para Mpu pembuat Kujang seperti Mpu Ni Mbo Somro, Mpu Kuwung , Mpu Loning, Mpu Windu Sarpa dan lain–lain , yang berasal dari Jawa Kalwan atau Jawa Kulon - Sunda , menciptakan pula berbagai keris ketika hijrah ke Jawa Pawatan atau Jawa Pawetanan (Medang – Galuh) , atas perintah para wali nagara, yang berdasar pada sistematika Nagara Purba dan keilmuan. Ditemukan pula nama – nama lain yang menyiratkan kujang, seperti : Kajang, Kijing, Kidang, Kudang, Parung Kujang (asal kata dari Para Hyang Kujang) dan banyak lagi yang lainnya.
 
Secara keseluruhan pusaka kujang merupakan lambang dari satu konsep ajaran Sunda Besar, dimana dalam proses penciptaannya merupakan hasil dari integrasi konsep : Agama,Budaya,Negara,Sejarah,Filsafat - Hakekat . Konsepsi ajaran tersebut diatas bersifat abstrak. Melalui kebajikan dan kebijakan para pendahulu bangsa ini mampu menterjemahkannya menjadi satu bentuk visual yaitu pusaka kujang. Penggayaan stilasi, abstraksi, dan deformasi bentuk pusaka kujang menyatu dengan ajaran kenegaraan dan ageman atau keyakinan.Kujang masih menyisakan misteri, karena dengan dasar meta logika akan mampu mengungkap meta historika kebudayaan Sunda Besar. KUJANG MENURUT FUNGSI Sebagai pakarang (senjata); kujang dengan ukurannya yang relatif pendek, tidak termasuk alat tebas, tapi tergolong alat tikam, alat tusuk, alat toreh, dan alatkerat. Wujud senjata ini (secara hipotesis), mungkin disesuaikan dengan karakter manusia Sunda Pajajaran itu sendiri yang bersifat defensif tatkala menghadapi marabahaya, tidak bersifat ofensif. Hal ini terungkap dari kisah “Pakujajar Majajaran” yang memberitakan bahwa 
“Sunda Pajajaran lain mudu pinter perang, tapi mudu pinter diperangan” (Sunda Pajajaran bukan mesti pandai berperang, tapi mesti pandai di kala diperangi). 
 
Pernyataan ini terbukti pula, bahwa dalam seluruh cerita pantun, tidak ada satu pun kisah yang memberitakan Kerajaan Pajajaran menyerang atau menaklukan kerajaan lain, kecuali malah digempur negara lain. Mengingat karakter Sunda Pajajaran yang defensif tadi, kujang dengan fungsinya sebagai senjata, bukan hanya untuk menyerang tetapi hanya untuk “bela diri” di kala keadaan susah sangat terdesak. Dalam cara pembelaan diri tersebut, kujang digunakan dengan sekali tusuk ke perut, ketika ditarik mampu merobek-robek seisi perut. Atau dengan sekali toreh dan sekali kerat saja musuh bisa langsung sekarat mendadak dan mati. Sebagai pangarak (alat upacara); Kujang Pangarak dalam kegiatan upacara menggunakannya dengan dipikul pada satu prosesi tertentu, oleh pelaku barisan terdepan. Dalam keadaan mendesak, kujang semacam ini bisa digunakan sebagai alat membela diri dengan cara ditusukkan atau dilemparkan kepada musuh dari jarak agak jauh, sebab kujang ini bertangkai panjang semacam tombak. 
 
Sebagai pamangkas (alat pertanian); Pantun Bogor memberitakan, bahwa zaman jayanya Kerajaan Pajajaran, kujang berupa perkakas yang multiguna. Kujang dalam kapasitas dan fungsinya sebagai alat pertanian (Kujang Pamangkas), kini masih dipergunakan di lingkungan masyarakat adat “Urang Kanekes” (Baduy) dan masyarakat “Pancer Pangawinan”. KUJANG MENURUT FISIK Bagian-bagian kujang dapat dijelaskan sebagai berikut: 
Papatuk/congo : adalah bagian ujungsenjata yang berujung lancip dan tajam 
Eluk/siih : adalah lekukan pada bagian punggung
Mata : yaitu lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak 
Tonggong: adalah bagian punggung kujang yang melengkung ke dalam, bagian ini biasanya tudak tajam 
Pamor : garis-garis alur besi hasil tempaan yang terdapat pada mata pisau yang tajam 
Beuteung : bagian kujang yang melengkung ke dalam, mata pisau yang tajam 
Tadah : adalah lengkungan menonjol pada bagian perut/beuteung 
Paksi : Bagian bawah kujang yang sedikit menonjol yang menjadi batas antara gagang dengan besi kujang 
Selut : Cincin logam yang dipasang pada gagang sebagai pelindung dan batas gagang dengan kujang Ganja/Landean : Kepala gagang yang diukir dengan seksama. Ukiran pada kepala gagang menunjukan tingkat sosial pemegangnya dan dapat pula menunjukan fungsi kujang tersebut.
Pemilikan dan pemakaian kujang, ditentukan oleh kesejajaran tugas dan fungsinya masing-masing, seperti: 
Kujang Ciung mata-9: hanya dipakai khusus oleh Raja
Kujang Ciung mata-7: dipakai oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom 
Kujang Ciung mata-5: dipakai oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis,dan para Bupati Pakuan
Kujang Jago : dipakai oleh Balapati, para Lulugu, dan Sambilan
Kujang Kuntul : dipakai oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu Patih Jaba, dan Patih Palaju), juga digunakan oleh para Mantri (Mantri Majeuti, Mantri Paséban, Mantri Layar, Mantri Karang, dan Mantri Jero) 
Kujang Bangkong : dipakai oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas, Guru Cucuk
Kujang Naga : dipakai oleh para Kanduru, para Jaro, Jaro Awara, Tangtu, Jaro Gambangan
Kujang Badak : dipakai oleh para Pangwereg, para Pamatang, para Palongok, para Palayang, para Pangwelah, para Bareusan, parajurit, Paratulup, Sarawarsa, para Kokolot. 
 
Selain diperuntukkan bagi para pejabat tadi, kujang digunakan pula oleh kelompok agama, tetapi kesemuanya hanya satu bentuk yaitu Kujang Ciung, yang perbedaan tahapannya ditentukan oleh banyaknya “mata”. Kujang Ciung bagi peruntukan Brahmesta (pendeta agung negara) yaitu yang bermata-9, sama dengan peruntukan raja.Kujang Ciung bagi para Pandita bermata-7, para Geurang Puun,Kujang Ciung bermata-5, para Puun Kujang Ciung bermata-3, para Guru Tangtu Agama dan para Pangwereg Agama Kujang Ciung bermata-1. Di samping masing-masing memiliki kujang tadi, golongan agama menyimpan pula Kujang Pangarak, yaitu kujang yang bertangkai panjang yang gunanya khusus untuk upacara-upacara sakral seperti Upacara Bakti Arakana, Upacara Kuwera Bakti, dsb., malah kalau dalam keadaan darurat, bisa saja dipakai untuk menusuk atau melempar musuh dari jarak jauh. Tapi fungsi utama seluruh kujang yang dimiliki oleh golongan agama, sebagai pusaka pengayom kesentosaan seluruh isi negara. 
Kelompok lain yang juga mempunyai kewenangan memakai kujang yaitu para wanita Menak (Bangsawan) Pakuan dan golongan kaum wanita yang memiliki fungsi tertentu, seperti para Puteri Raja, para Puteri Kabupatian, para Ambu Sukla, Guru Sukla, para Ambu Geurang, para Guru Aés, dan para Sukla Mayang (Dayang Kaputrén). Kujang bagi kaum wanita ini, biasanya hanya terdiri dari Kujang Ciung dan Kujang Kuntul. Hal ini karena bentuknya yang langsing, tidak terlalu “galabag” (berbadan lebar”, dan ukurannya biasanya lebih kecil dari ukuran kujang kaum pria. Untuk membedakan status pemiliknya, kujang untuk kaum wanita pun sama dengan untuk kaum pria, yaitu ditentukan oleh banyaknya mata, pamor, dan bahan yang dibuatnya. 
Kujang untuk para puteri kalangan menak Pakuan biasanya kujang bermata-5, Pamor Sulangkar, dan bahannya dari besi kuning pilihan. Sedangkan (kujang) wanita fungsi lainnya kujang bermata-3 ke bawah malah sampai Kujang Buta, Pamor Tutul, bahannya besi baja pilihan. Kaum wanita Pajajaran yang bukan menak tadi, di samping menggunakan kujang ada pula yang memakai perkakas “khas wanita” lainnya, yaitu yang disebut Kudi, alat ini kedua sisinya berbentuk sama, seperti tidak ada bagian perut dan punggung, juga kedua sisinya bergerigi seperti pada kujang, ukurannya rata-rata sama dengan ukuran “Kujang Bikang” (kujang pegangan kaum wanita), langsing, panjang kira-kira 1 jengkal termasuk tangkainya, bahannya semua besi-baja, lebih halus, dan tidak ada yang memamai mata.
 
Kujang yang dikenal oleh masyarakat kita pada umumnya adalah Kujang Ciung. Pada lambang daerah, pada lambang perusahaan pupuk dan semen, pada lambang batalion, pada tugu-tugu dan lain-lain tampak jelas mengindikasi pada bentuk Kujang Ciung. Padahal, kujang memiliki beragam bentuk dan nama yang menyesuaikan bentuk tersebut. Beragam bentuk dan nama diperkirakan memiliki simbol yang dipakai dalam tatanan masa keemasan kujang yaitu masa kerajaan Sunda Pajajaran. Istilah kujang sendiri memiliki banyak penafsiran, salah satunya ada yang mengatakan bahwa kujang berasal dari kata kudi dan hyang yaitu kudi yang dianggap disucikan. Hal tersebut mengacu pada perkembangan senjata kudi yang banyak ditemukan di daerah Pulau Jawa dan Madura. Bentuk-bentuk kujang yang unik adalah sebagai berikut: 
1. Kujang Cupu 
2. Kujang Karsagada 
3. Kujang Bondan 
4. Kujang Kundang
5. Kujang Puraga 
6. Kujang Raksa
7. Kujang Kembang 
8. Kujang Naga 
9.Kujang Wayang
10. Kujang Pasundan

PATOKAN DALAM PEMBUATAN KUJANG 
Proses Pembuatan Kujang Pada zamannya Kerajaan Pajajaran Sunda masih jaya, setiap proses pembuatan benda-benda tajam dari logam termasuk pembuatan senjata kujang, ada patokan-patokan tertentu yang harus dipatuhi, di antaranya: Patokan Waktu. Mulainya mengerjakan penempaan kujang dan benda-benda tajam lainnya, ditandai oleh munculnya Bintang Kerti, hal ini terpatri dalam ungkapan “Unggah kidang turun kujang, nyuhun kerti turun beusi”, artinya ‘Bintang Kidang mulai naik di ufuk Timur waktu subuh, pertanda masanya kujang digunakan untuk “nyacar” (mulai berladang). Demikian pula jika Bintang Kerti ada pada posisi sejajar di atas kepala menyamping agak ke Utara waktu subuh, pertanda mulainya mengerjakan penempaan benda-benda tajam dari logam (besi-baja)’. Patokan waktu seperti ini, kini masih berlaku di lingkungan masyarakat “Urang Kanékés” (Baduy). Kesucian “Guru Teupa” (Pembuat Kujang).
 
Seorang Guru Teupa (Penempa Kujang), waktu mengerjakan pembuatan kujang mesti dalam keadaan suci, melalui yang disebut “olah tapa” (berpuasa). Tanpa syarat demikian, tak mungkin bisa menghasilkan kujang yang bermutu. Terutama sekali dalam pembuatan Kujang Pusaka atau kujang bertuah. 
Di samping Guru Teupa mesti memiliki daya estetika dan artistika tinggi, ia mesti pula memiliki ilmu kesaktian sebagai wahana keterampilan dalam membentuk bilah kujang yang sempurna seraya mampu menentukan “Gaib Sakti” sebagai tuahnya. Bahan Pembuatan Kujang. Untuk membuat perkakas kujang dibutuhkan bahan terdiri dari logam dan bahan lain sebagai pelengkapnya, seperti: Besi, besi kuning, baja, perak, atau emas sebagai bahan membuat waruga (badan kujang) dan untuk selut (ring tangkai kujang). Akar kayu, biasanya akar kayu Garu-Tanduk, untuk membuat ganja atau landean (tangkai kujang). Akar kayu ini memiliki aroma tertentu) Papan, biasanya papan kayu Samida untuk pembuatan kowak atau kopak (sarung kujang). Kayu ini pun memiliki aroma khusus. Emas, perak untuk pembuatan “mata” atau “pamor” kujang pusaka ataukujang para menak Pakuan dan para Pangagung tertentu. Selain itu, khusus untuk “mata” banyak pula yang dibuat dari batu permata yang indah-indah. “Peurah” (bisa binatang) biasanya “bisa Ular Tiru”, “bisa Ular Tanah”, “Bisa Ular Gibug”, ”bisa Kelabang” atau “bisa Kalajengking”. Selain itu digunakan pula racun tumbuh-tumbuhan seperti ”getah akar Leteng” “getah Caruluk” (buah Enau) atau “serbuk daun Rarawea”, dsb. 
Gunanya untuk ramuan pelengkap pembuatan “Pamor”. Kujang yang berpamor dari ramuan racun-racun tadi, bisa mematikan musuh meski hanya tergores. “Gaib Sakti” sebagai isi, sehingga kujang memiliki tuah tertentu. Gaib ini terdiri dari yang bersifat baik dan yang bersifat jahat, bisa terdiri dari gaib Harimau, gaib Ulat, gaib Ular, gaib Siluman, dsb. Biasanya gaib seperti ini diperuntukan bagi isi kujang yang pamornya memakai ramuan racun sebagai penghancur lawan. Sedangkan untuk Kujang Pusaka, gaib sakti yang dijadikan isi biasanya para arwah leluhur atau para “Guriyang” yang memiliki sifat baik, bijak, dan bajik. Tempat (Khusus) Pembuatan Kujang. Tempat untuk membuat benda-benda tajam dari bahan logam besi baja, baik kudi, golok, sunduk, pisau, dsb. Dikenal dengan sebutan Gosali, Kawesen, atau Panday. Tempat khusus untuk membuat membuat (menempa) perkakas kujang disebut Paneupaan. 
Seperti dalam lakon Pantun Bogor kisah“Kalangsunda Makalangan” terdapat ungkapan yang menggamvarkan kemiripan rupa tokoh Kumbang Bagus Setra dan Rakean Kalang Sunda dengan kalimat berbunyi: “Yuni Kudi sa-Gosali, rua Kujang sa-Paneupaan”, ungkapan tersebut mengindi-kasikan bahwa istilah “Paneupaan” benar-benar berupa nama untuk tempat pembuatan perkakas kujang. Hal ini lebih diperjelas lagi dengan sebutan “Guru Teupa” bagi si pembuat kujang, yang mungkin sederajat “Empu” pembuat keris di lingkungan masyarakat Jawa. 
Cara Membawa Kujang: Membawa perkakas kujang tidak hanya satu cara, namun tergantung kepada bentuk dan ukuran besar kecilnya dan kadar kesakralannya. Disoren; yaitu dengan cara digantungkan pada pinggang sebelah kiri dengan menggunakan sabuk atau tali pengikat yang diikatkan ke pinggang. Yang dibawa dengan cara disoren ini, Kujang Galabag (berbadan lebar) seperti Kujang Naga dan Kujang Badak sebab kowaknya (sarungnya) cukup lebar. 
Ditogel; yaitu dengan cara diselipkan pada sabukdi depan perut tanpa menggunakan tali pengikat. Kujang yang dibawa dengan cara ini yaitu Kujang Bangking (kujang berbadan kecil) seperti Kujang Ciung, Kujang Kuntul, Kujang Bangkong, Kujang Jago, Kudi yang ukuran kowaknya pun lebih kecil. Demikian pula kujang yang termasuk “Kujang Ageman” (bertuah) selalu dibawa dengan cara ditogel. Dipundak; yaitu dengan cara dipikul tangkainya yang panjang, seperti membawa tombak. Yang dibawa dengan cara demikian hanya khusus Kujang Pangarak, karena memiliki tangkai panjang. 
Dijinjing; yaitu dengan cara ditenteng, dipegang tangkainya. Kujang yang dibawa dengan cara ini hanya Kujang pamangkas, sebab kujang ini tidak memakai sarung (kowak) alias telanjang. Cara Menggunakan Kujang: Tersebar berita, bahwa cara menggunakan kujang konon dengan cara dijepit ekornya (paksi-nya) yang telanjang tanpa “ganja” (tangkai) menggunakan ibu jari kaki. Sedangkan cara lain, yaitu dengan dijepit menggunakan telunjuk dan ibu jari kemudian ditusuk-tusukan ke badan lawan. Alasan mengapa cara menggunakannya demikian, sebab katanya kujang memang berupa senjata “telanjang” tanpa tangkai dan tanpa sarung (kowak). 
 
Jika para Guru Teupa penempa Kujang Pajajaran sengaja membuatnya demikian, hal itu merupakan pekerjaan tanpa perhitungan. Sebab dilihat dari bentuk ekor (paksi) kujang yang banyak ditemukan, bentuknya sama seperti ekor senjata tajam lainnya yang lazim memakai gagang (tangkai) seperti golok, arit, pisau, dsb. Dengan cara menggunakannya seperti diutarakan tadi, sedikitnya ia akan terluka jari jemari kakinya ataupun jari jemari tangannya. Lain halnya jika bentuk ekornya tadi dibuat sedemikian rupa sehingga mudah untuk dijepit dengan jari jemarinya. Berita tadi jika dibandingkan dengan berita Pantun Bogor dan beberapa temuan penulis, ternyata bertabrakan. Sebagaimana diutarakan pada bagian terdahulu, bahwa Kujang Pajajaran merupakan benda tajam yang lengkap memakai ganja (tangkai) dan memakai kowak (sarung). Kalau timbulnya pendapat seperti tadi, hal ini mungkinberanjak dari temuan-temuan yang tergali dari dalam tanah, mayoritas kujang telanjang tanpa ganja tanpa kowak bahkan tanpa mata (berlubang-lubang). 
Sebenarnya, keberadaan kujang yang ditemukan seperti itu akibat dari terlalu lamanya tertimbun tanah, sehingga ganja atau kowak-nya yang terbuat dari kayu mengalami lapuk dan hancur. Sedangkan jarang ditemukan kujang yang masih lengkap dengan matanya, inipun mungkin saja setiap penemu kujang tadi mencungkilnya, sebab kebanyakan mata kujang terbuat dari emas, batu permata yang indah-indah, dan cukup mahal harganya. Kujang yang masih lengkap dengan matanya, kini masih bisa dilihat di Museum Geusan Ulun Kabupaten Sumedang. Pada bagian-bagian terdahulu diutarakan, bahwa kujang memiliki fungsi sebagai pusaka, pakarang, pangarak, pamangkas.