BROJOGUNO BISA MENEMBUS BAJA BESI
Para kolektor keris pernah menghindari koleksi keris-keris dari jaman
Pajang dan Kartasura. Mereka berpendapat tosan aji dari kedua jaman itu
,dianggap kurang baik, karena berasal dari jaman Kraton yang umurnya
relatif pendek. Keraton Pajang umurnya hanya 32 tahun (1628-1660) dan
Kartasura hanya 75 tahun (1670-1745). Keduanya runtuh karena peperangan.
Patut dipertanyakan apakah alasan itu lebih didasarkan atas hasil
karyanya ataukah oleh sebab filosophy lain. Dalam sejarah memang
disebutkan ,selama kedua kerajaan itu berdiri diwarnai dengan banyak
peperangan dan kerusuhan. sehingga menyimpulkan hasil karya para
empunyapun kurang bagus karena dibuat dalam suasana tidak aman.
Demikian antara lain terungkap dalam sarasehan terbatas Pametri Wiji .
Pakar keris KRT Sumosudiro mengatakan, Kerajaan Pajang berdiri sebelum
Keraton Mataram. Sedang Kerajaan Kartasura merupakan perpanjangan
Kerajaan Mataram. Disebutkan, sepeninggal Sri Susuhunan Amangkurat Agung
(Seda Tegalarum) tampuk pemerintahan dipegang oleh puteranya, Pangeran
Adipati Anom yang kemudian menjadi Sri Susuhunan Amangkurat II. Pusat
Kerajaan Mataram, Plered, ketika berhasil direbut dari tangan
pemberontak sudah dalam keadaan rusak. Itulah sebabnya keraton dipindah
kehutan Wonokerto yang kemudian dijadikan pusat kerajaan dan diberi nama
Kartasura Hadiningrat.
Di jaman Pajang dengan Raja Sri Sultan Hadiwijoyo dikenal beberapa orang empu, diantaranya Empu Umyang dan Empu Cublak.
Empu Umyang adalah anak Empu Supa (Sepuh) dari jaman Majapahit. Ki
Umyang juga disebut Ki Tundhung Kudus. Disebut demikian karena sewaktu
mengabdi kepada Raja Pajang ia diusir dari keraton gara-gara difitnah
oleh rekannya Empu Cublak. Di Kudus pembuat keris ini tidak lama,
kemudian ia mengabdi ke kerajaan Mataram, bahkan dia diangkat menjadi
pemimpin para empu, dan diberi gelar Ki Supa Anom atau lebih kondang
disebut Ki Nom.
Karya Empu Umyang banyak dipercaya masyarakat jika digunakan untuk
mengkreditkan uang akan menguntungkan. Yang berhutang selalu akan risih
karena diganggu oleh dhemit dan thuyul yang bercokol di dalam keris
Umyang itu. Keris Umyang ditandai dengan bagian sor-sorannya yang mbekel
(buncit) seperti perut Bethara Narada atau ngedhe karena luknya
berjalan kekiri, tidak kekanan seperti lazimnya. Namun menurut pakar
tayuh keris R. Oesodo, keris Umyang tidak selalu ngedhe. Ada juga keris
Umyang yang berluk biasa bahkan ada juga yang berdapur lurus.
Mbah Prawirosudarmo (alm.) paranormal dari sentolo pernah mengingatkan,
tidak semua orang bisa memakai keris Umyang. Beliau mengaku sudah
beberapa kali kedatangan keturunan orang kaya di Kota gede. Mereka
mengeluh kehidupannya terlunta-lunta dan tidak merasa tentram. Menururt
pengamatan batin Mbah Prawirosudarmo ternyata mereka menyimpan keris
Umyang yang sewaktu orang tuanya selalu diberi sesaji gecoh daging
mentah pada waktu-waktu tertentu. Atas sarannya keris warisan orang
tuanya itu dilabuh di Laut Kidul meskipun pusaka itu sedah diberi busana
yang mewah. Nyatanya setelah hal itu dikerjakan, mereka dapat menjalani
kehidupannya dengan baik dan tenteram.
Pada umumnya keris tangguh Pajang memiliki besi mentah, terkesan kurang
tempaan Pamornya mubyar (menyala) putih seperti perak. Baja sedang jika
berluk, kellokannya terlihat rapat (kekar). Ganja umumnya besar. Sirah
cecak juga besar. Tantingannya agak berat, lebih berat dari keris-keris
Mataram.
Selain Umyang di jaman Pajang juga dikenal Empu Cublak, Empu Wonogati,
Empu Surawangan, Empu Joko Puthut dan Empu Pengasih. Pembuatkeris yang
disebut terakhir ini ditandai dengan karyanya yang tidak berpamor.
Berbicara tentang keris tangguh Kartasura, Sumosudiro mengutip uraian M
Ng. Wirasukadga dari Keraton Surakarta sbb. : ganja sebit lontar, sirah
cecak lancip, badan bilah tebal, dan kau (janggal), besi keropos dan
keputihan, pamor mengambang dan mubyar (menyala putih seperti perak)
atau tidak berpamor. Gaya keris Kartasura mirip keris Mataram.
Pasikutannya nyatriya, terkesan seperti seorang satriya, tetapi
kasar.Yang luk umumnya rapat (kekar).
Empu yang terkemuka di jaman itu adalah Empu Brojo (Brojoguno I) yang
mengabdi di kraton. Hasil karyanya terkesan sangat keras, bisa menembus
uang logam, bahkan konon bisa menembus baju besi (kere waja). Empu
lainnya adalah Empu Sentranaya III, Empu Sendhang Warih, Empu
Taruwangsa, Empu Japan dan masih banyak lagi. Di jaman Keraton Kartasura
telah dibat duplikat keris pusaka Kangjeng Kyai Ageng Maesa Nualr.
Tidak jelas apakah KKA Maesa Nular yang dimiliki Keraton Yogyakarta itu
asli atau duplikatnya yang dibuat di jaman Kartasura. Menururt catatan
keris pusaka itu berdapur Maesa Lajer.
Pada masa itu para empu keraton juga membuat duplikat tombak pusaka
Kangjeng Kyai Ageng Pleret. Sewaktu Geger Pacinan tombak inventaris
keraton ini diamankan oleh abdidalem Suranata. Namun Pangeran Mangkubumi
(kemudian menjadi Sri Sultan HB I) yang melihatnya segera merebutnya.
Selanjutnya menjadi milik Keraton Yogyakarta. Apakah yang dilarikan itu
tombak yang tulen ataukah tombak yang putran/tiruan..? sulit untuk
dijawab, karena hampir tidak mungkin menelitinya.
No comments:
Post a Comment